Dalam suatu riwayat air zamzam yang sampai saat ini tersedia untuk jutaan jemaah pernah menghilang ratusan tahun. Berikut ini kisah munculnya air zamzam yang sempat kering dan hilang.
Awalnya air zamzam dipercaya sebagai bentuk pertolongan Allah SWT kepada Siti Hajar setelah melihat kesabaran dan keimanannya yang berlari-lari antara bukit Shafa dan bukit Marwah.
Waktu itu Siti Hajar yang diperintahkan suaminya untuk tinggal di lembah kering bersama dengan anaknya yakni Ismail. Ketika Ismail menangis kehausan, Siti Hajar bingung tidak ada sumber air.
Lantas Allah SWT utus Jibril AS bertemu dengan Siti Hajar, segera atas izin-Nya, saat Jibril menghentakkan kakinya, keluarlah mata air deras di lokasi tersebut.
Air Zamzam Setelah Sepeninggal Siti Hajar dan Nabi Ismail AS
M Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad : Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih (Edisi Baru) menjelaskan suku Jurhum sebagai kelompok pertama di Ka’bah.
Setelah ditemukannya air zamzam oleh Siti Hajar, berita tersebut menyebar hingga sampai kepada suku Jurhum, kemudian mereka pun menemati tanah tersebut untuk memberikan perlindungan kepada Siti Hajar dan Ismail kecil.
Selanjutnya, mereka mengatur pernikahan antara Nabi Ismail AS dan seorang wanita keturunan Jumhur. Latas suku ini pun membangun pemukimannya dan berpusat di sekitar Ka’bah.
Semenjak bertempat tinggal di Ka’bah, suku Jurhum melakukan keselewangan dan bahkan dinilai tidak lagi menjaga Ka’bah, hingga persembahan untuk pemeliharaan Ka’bah pun mereka ambil.
Pada akhirnya penguasaan suku Jurhum terhadap Kab’bah berakhir sesudah mereka diusir oleh Khuza’ah, satu kelompok suku yang berasal dari keturunan Qahthan dari Yaman.
Beberapa riwayat mengatakan bahwa suku Jurhum sebelum melarikan diri, menghilangkan tanda-tanda lokasi sumur zamzam, dan menyembunyikan sebagian hartanya, itu semua supaya musuh tidak menikmatinya.
Hilangnya Air Zamzam
Mengutip buku Al-Bait: Misteri Sejarah Ka’bah dan Hilangnya Di Akhir Zaman karya H. Brilly El-Rasheed, S.Pd. berdasarkan catatan Prf. Muhammad Al-Maliki, mata air zamzam tidak hanya hilang setahun, dua tahun, melainkan sampai 500 tahun.
Hilangnya mata air zamzam ini mampu menyebabkan krisis untuk masyarakat Makkah, terutama bagi jemaah haji. Akibatnya masyarakat Makkah berusaha menemukan dan menggali berbagai titik lokasi.
Memang mereka berhasil menemukan mata air baru, seperti mata air Maimun Hadhari, mata air Murrah, mata air Al-Ghamr, tetapi mata air tersebut berada di luar Makkah.
Suatu hari Abdul Muthalib mengajak para pemimpin kabilah Quraisy untuk rapat membahas masalah ini, supaya segera menemukan solusi mengenai krisis mata air. Hingga dalam mimpinya Abdul Muthalib mendapat ilham dari Allah SWT untuk menggali sumber mata air zamzam.
Mimpi beliau berisi perintah untuk menggali sumber mata air zamzam yang hilang, lantas kemudian bersama anaknya Al-Harits, Abdul Muthalib menggali sebidang tanah yang di atasnya terdapat berhala.
Penggalian ini dilakukan pada tahun Gajah, tahun dilahirkannya Rasulullah SAW oleh ibunda Siti Aminah.
Tempat zamzam yang digambarkan dalam mimpi ternyata begitu kering, seolah-olah seperti tidak mungkin ada air didalamnya, tetapi penggalian zamzam terus dilakukan, meskipun banyak para penggali yang meninggal dunia.
Baca Juga: Syarat-Cara Daftar Haji Reguler Dan Furoda, Apa Bedanya?
Menyadari keadaan kaumnya yang kesulitan saat berusaha menemukan sumber air zamzam, maka muncul dalam hati Abdul Muthalib untuk bernazar,
“Seandainya penggalian sumur zamzam dapat sempurna dan mata air kembali keluar, jika aku dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki, maka aku akan menyembelih salah satu diantara mereka.”
Ternyata, Allah mengabulkan nadzarnya. Dari enam wanita yang dinikahi oleh Abdul Muthalib terlahirlah sepuluh anak laki-laki, yaitu Al-Harits, Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubair, Al-Abbas, Dharar, Abu Lahab, Al-Ghaidaq, Hamzah, dan Al-Muqawwam
Penggalian kembali dilanjutkan hingga beliau dan anaknya menemukan suatu tempat yang berisi banyak perkakas berlapis emas, pedang, baju perang, dan benda lainnya. Sesudah barang-barangnya diangkut, keluarlah air yang ternyata adalah mata air zamzam.
Lantas untuk memenuhi nazarnya Abdul Mutahlib mengundi diantara sepuluh putrannya, setelah emlakukan beberapa kali undian, ternyata hasilnya tetap saja nama Abdullah.
Ibnu Hisyam menjelaskan dalam bukunya Sirah Nabawiyyah, “Ketika Abdul Muththalib membawa Abdullah untuk disembelih, Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum mengatakan,
“Demi Allah, jangan sekali-kali engkau menyembelihnya untuk selamanya sampai engkau dapat menghindarinya. Apabila kita bisa menggantinya dengan harta, maka lebih baik kita menggantinya.”
Orang Quraisy menolak gagasan untuk mengorbankan salah satu putra beliau. Mereka khawatir hal ini akan menjadi tradisi di kalangan orang Arab dan penduduk Makkah di masa depan. Setelah lama berdebat, akhirnya Abdul Muththalib berdoa kepada Allah untuk meminta petunjuk.
Akhirnya, diputuskan bahwa Abdul Muththalib menyembelih seratus ekor unta sebagai pengganti nazarnya. Pelanggaran nazar ini disebut diyat (denda). Inilah diyat pertama yang kemudian ditetapkan dalam syariat Islam sebagai hukuman untuk pelanggaran tertentu di Tanah Haram.
sumber: detik.com